Cerita Bersambung: "Langkah Adim"
Bagian 3: Bayangan di Tengah Malam
Adim berdiri membeku di depan pintu kamar kontrakannya. Suara bisikan itu terlalu jelas, seperti seseorang berdiri tepat di belakangnya. Dengan napas terengah, dia menutup pintu rapat-rapat dan memutar kunci dua kali. Matanya melirik ke arah buku tua di lantai, seolah-olah benda itu menjadi sumber semua kekacauan ini.
"Ini nggak masuk akal," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang tidak normal sejak paket itu sampai padanya.
Adim memutuskan untuk tidak menyentuh buku itu lagi malam itu. Dia mematikan lampu dan merebahkan diri di kasur tipis di sudut kamar. Namun, tidur tidak semudah yang dia bayangkan. Suara-suara kecil terus terdengar—seperti langkah kaki di luar kamar, desiran halus angin, dan sesekali suara ketukan samar.
Dia menutup wajah dengan bantal, mencoba mengabaikannya. Tapi rasa gelisah semakin menguat.
Pukul dua dini hari. Adim akhirnya tertidur, meski tidak nyenyak. Dalam mimpinya, dia melihat dirinya berdiri di tengah pasar lama yang sudah lama terbengkalai. Pasar itu terlihat menyeramkan, dengan kios-kios kosong yang penuh sarang laba-laba. Namun, di tengah pasar, ada seorang wanita berjubah hitam berdiri membelakanginya.
Wanita itu memegang buku tua yang sama, membalik halaman demi halaman dengan gerakan pelan.
“Siapa kau?” tanya Adim, suaranya bergetar.
Wanita itu tidak menjawab. Dia hanya berhenti membalik halaman, lalu menoleh sedikit, memperlihatkan wajahnya yang setengah tertutup kain hitam.
“Buku itu memilihmu, Adim,” katanya dengan suara serak. “Tapi kau harus memilih: melanjutkan perjalanan ini, atau mengakhirinya di sini.”
Sebelum Adim sempat bertanya lebih lanjut, wanita itu mengangkat tangannya. Dalam sekejap, pasar di sekelilingnya runtuh, dan Adim merasa tubuhnya terjatuh ke dalam kegelapan.
Dia terbangun dengan teriakan, tubuhnya penuh keringat. Pagi belum tiba, tapi kamar kontrakannya terasa lebih gelap dari biasanya.
Adim bangkit dari tempat tidur, menghidupkan lampu, dan menatap buku itu. Dia tidak bisa membiarkan misteri ini terus menghantuinya. Dengan gemetar, dia membuka halaman yang bergambar peta lagi.
Lingkaran merah di peta itu menandai sebuah lokasi di daerah Sidoarjo yang dia kenali—Pasar Senggol, pasar tua yang sudah ditinggalkan sejak beberapa tahun lalu karena kebakaran besar.
“Ini kebetulan, kan?” gumamnya, mencoba menyangkal hubungannya dengan mimpi yang baru saja dia alami.
Namun, bagian dirinya yang lain mengatakan ini bukan kebetulan.
Adim menarik napas panjang. Kalau ada sesuatu yang bisa menjawab semua pertanyaan ini, mungkin jawabannya ada di Pasar Senggol.
Pagi di Pasar Senggol
Langit pagi Sidoarjo mendung ketika Adim tiba di Pasar Senggol. Tempat itu masih dipenuhi sisa-sisa kios kayu yang hangus, dan beberapa bagian sudah ditumbuhi rumput liar. Tidak ada seorang pun di sana—hanya kesunyian yang membuat suasana semakin mencekam.
Adim melangkah perlahan, mengikuti peta di buku tua itu. Dia merasa aneh membawa buku itu bersamanya, tetapi tanpa peta itu, dia tidak tahu harus mencari apa.
Lingkaran merah di peta menandai area di tengah pasar, tempat sebuah kios besar pernah berdiri. Ketika Adim tiba di sana, dia melihat sesuatu yang tidak biasa—bekas ubin lantai kios itu tidak rata. Salah satu ubinnya terlihat sedikit terangkat.
Dengan hati-hati, Adim mencoba mengangkat ubin itu. Di bawahnya, dia menemukan sebuah kotak kecil berbahan logam yang sudah berkarat. Kotak itu terkunci, tetapi kuncinya sudah berkarat dan mudah dibuka.
Di dalam kotak, ada beberapa benda aneh: selembar foto hitam putih seorang pria dan wanita yang tersenyum kaku, secarik kain dengan noda merah yang sudah memudar, dan sebuah kunci kecil berwarna perak.
Adim mengambil kunci itu, merasa ada sesuatu yang penting tentang benda kecil tersebut. Di balik tutup kotak, ada tulisan tangan yang nyaris pudar:
"Buka pintu menuju kebenaran, tapi jangan lupa... setiap kunci ada harganya."
Bayangan di Dalam Pasar
Adim merasa semakin gelisah. Dia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, tetapi sebelum dia sempat melangkah pergi, dia mendengar suara langkah kaki.
“Siapa di sana?” teriak Adim, mencoba terdengar tegas meskipun lututnya gemetar.
Tidak ada jawaban, tetapi langkah kaki itu semakin mendekat.
Adim memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Dia berlari menuju motornya, memegang kotak logam itu erat-erat. Namun, ketika dia hampir mencapai motornya, sosok wanita berjubah hitam dari mimpinya muncul di tengah jalan.
“Jangan lari, Adim,” katanya pelan, suaranya terdengar menggema.
Adim berhenti, tubuhnya membeku. Wanita itu melangkah mendekat, dan Adim bisa melihat wajahnya lebih jelas sekarang. Wajah itu setengah tertutup luka bakar, dan matanya yang tidak terluka memandang Adim tajam.
“Kau menemukan kuncinya,” katanya. “Sekarang kau harus tahu apa yang akan kau buka.”
Adim ingin bertanya, tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Dalam sekejap, wanita itu menghilang, dan suara angin kencang memenuhi telinganya.
Ketika Adim akhirnya sadar, dia sudah berada di motornya, dengan kotak logam masih di tangan. Dia tidak tahu bagaimana dia sampai di sana, tetapi sesuatu dalam dirinya mengatakan perjalanan ini belum selesai.
Kotak, buku, dan kunci itu—semuanya membawa Adim pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Tapi apakah dia siap untuk menghadapi kebenaran yang sedang menunggunya?
Bersambung...
Apa arti kunci yang ditemukan Adim? Dan siapa sebenarnya wanita berjubah hitam itu? Nantikan di Bagian 4!
Komentar
Posting Komentar