Cerita Bersambung: "Langkah Adim"
Bagian 4: Kunci ke Masa Lalu
Pagi itu, Adim masih diliputi kebingungan. Kotak logam kecil dengan kunci perak kini tergeletak di meja kamarnya, bersebelahan dengan buku tua yang tampak semakin misterius. Dia duduk di kursi plastik reyot, menatap kedua benda itu dengan pikiran berkecamuk.
Wanita berjubah hitam dari pasar Senggol terus menghantui pikirannya. Siapa dia? Apa hubungan dia dengan buku dan kunci ini? Adim mencoba menyusun potongan-potongan kejadian yang dialaminya sejak paket itu sampai, tapi jawabannya tetap kabur.
Dia akhirnya memutuskan untuk mencari bantuan. Ada satu orang yang terlintas di benaknya—Pak Rahmat, tetangganya yang sudah tua, seorang pensiunan guru sejarah. Pria itu dikenal gemar membaca buku tua dan sering kali bercerita tentang mitos-mitos lokal.
Pertemuan dengan Pak Rahmat
Adim membawa buku dan kotak logam itu ke rumah Pak Rahmat, sebuah rumah kecil yang dipenuhi rak-rak buku berdebu. Pria tua itu sedang duduk di beranda, menghisap rokok linting sambil menatap langit pagi yang masih abu-abu.
“Adim! Tumben pagi-pagi ke sini,” sapanya ramah.
Adim duduk di kursi di hadapan Pak Rahmat. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Pak, saya butuh bantuan. Ada sesuatu yang... aneh.”
Pak Rahmat mengangkat alis, tampak tertarik. “Aneh? Maksudmu apa?”
Adim mengeluarkan buku tua itu dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Buku ini, Pak. Dan... ini.” Dia meletakkan kotak logam kecil di sebelah buku.
Pak Rahmat memandang benda-benda itu dengan tatapan serius. Dia membuka buku itu perlahan, membaca halaman pertama yang bertuliskan: “Hanya yang berani membuka ini akan menemukan jawabannya.”
“Hmmm,” gumamnya. “Dari mana kau mendapatkan ini?”
Adim menjelaskan semuanya—mulai dari paket yang salah antar, kejadian aneh di rumah Bu Rina, hingga mimpinya di pasar Senggol. Pak Rahmat mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk sambil mengetuk meja dengan jarinya.
Setelah Adim selesai bercerita, Pak Rahmat membuka kotak logam itu. Dia mengamati kunci perak kecil dengan tatapan tajam, seolah mencoba mengingat sesuatu.
“Buku ini bukan buku biasa, Adim,” katanya akhirnya. “Kalau tidak salah, ini mirip dengan salah satu artefak kuno yang sering disebut dalam cerita sejarah lokal. Buku ini pernah disebut-sebut sebagai Panduan Tertutup.”
“Panduan Tertutup?” Adim mengulang, bingung.
Pak Rahmat mengangguk. “Konon, buku ini dibuat oleh seorang tokoh misterius pada masa kolonial. Buku ini dipercaya berisi petunjuk untuk menemukan sesuatu yang sangat berharga, tapi hanya mereka yang ‘terpilih’ yang bisa membukanya dan memahami isinya.”
Adim mengerutkan kening. “Berharga? Maksudnya apa, Pak? Harta karun?”
Pak Rahmat menggeleng. “Bukan sekadar harta karun. Buku ini membawa sesuatu yang lebih dari itu—pengetahuan, atau mungkin rahasia besar yang bisa mengubah hidup seseorang. Tapi ada harga yang harus dibayar. Banyak cerita tentang orang-orang yang mencoba membuka buku ini dan akhirnya kehilangan segalanya.”
Adim merasa tenggorokannya kering. “Lalu... kunci ini?” Dia menunjuk kunci perak kecil di kotak logam.
Pak Rahmat memegang kunci itu, memperhatikannya dengan seksama. “Aku tidak tahu pasti. Tapi kemungkinan besar kunci ini adalah bagian dari teka-teki. Mungkin ada sesuatu yang harus kau buka untuk melanjutkan perjalananmu.”
Petunjuk Baru
Pak Rahmat membuka halaman demi halaman buku itu. Ketika sampai di halaman yang bergambar peta kecil dengan tanda lingkaran merah, dia berhenti.
“Pasar Senggol, ya?” gumamnya.
Adim mengangguk. “Saya sudah ke sana, Pak. Di sana saya menemukan kotak ini.”
Pak Rahmat tampak berpikir keras. Dia menghela napas panjang, lalu menatap Adim. “Ada satu tempat lagi yang mungkin berkaitan dengan ini.”
“Di mana?” tanya Adim cepat.
“Gudang tua di tepi sungai di Desa Porong. Tempat itu dulu digunakan oleh para pedagang Belanda untuk menyimpan barang-barang berharga sebelum dikirim ke Surabaya. Tapi setelah banjir lumpur Lapindo, tempat itu ditinggalkan.”
Adim terdiam. Desa Porong tidak jauh dari tempat tinggalnya, tapi tempat itu terkenal angker dan jarang dikunjungi orang.
“Adim,” lanjut Pak Rahmat, suaranya lebih serius. “Kalau kau benar-benar ingin melanjutkan ini, kau harus berhati-hati. Apa pun yang kau cari, pastikan kau siap dengan konsekuensinya.”
Perjalanan ke Gudang Tua
Sore itu, Adim memutuskan untuk pergi ke Desa Porong. Dia tidak tahu apa yang akan dia temukan, tapi rasa penasarannya terlalu besar untuk diabaikan.
Ketika dia tiba di lokasi, gudang tua itu terlihat menyeramkan. Bangunan besar itu hampir roboh, dengan dinding-dinding yang penuh retakan dan tanaman liar yang tumbuh di sekitarnya. Sungai di belakangnya mengalir tenang, tapi aroma lumpur yang menyengat membuat suasana semakin mencekam.
Adim melangkah masuk dengan hati-hati. Lantainya penuh debu dan pecahan kayu. Dia mengikuti instingnya, mencoba mencari sesuatu yang sesuai dengan kunci perak kecil di tangannya.
Setelah beberapa menit mencari, dia menemukan sebuah pintu kecil di sudut ruangan. Pintu itu terbuat dari kayu tebal dengan lubang kunci yang terlihat cocok untuk kunci perak yang dia bawa.
Dengan tangan gemetar, Adim memasukkan kunci itu dan memutarnya. Suara klik kecil terdengar, dan pintu terbuka perlahan.
Di balik pintu itu, ada sebuah ruangan kecil dengan cahaya redup. Di tengah ruangan, ada sebuah peti kayu besar yang dihiasi ukiran rumit. Adim melangkah mendekat, membuka peti itu dengan hati-hati.
Di dalamnya, dia menemukan sesuatu yang tidak pernah dia duga—tumpukan dokumen tua, peta-peta kuno, dan sebuah buku kecil lain yang terlihat jauh lebih baru.
Adim mengambil buku kecil itu dan membuka halamannya. Di dalamnya, ada tulisan tangan yang jelas terbaca:
"Selamat datang di awal perjalananmu, Adim. Ini baru permulaan."
Bersambung...
Apa arti pesan di buku kecil itu? Dan apa hubungan Adim dengan rahasia besar ini? Nantikan di Bagian 5!
Komentar
Posting Komentar