Cerita Bersambung: "Langkah Adim"
Bagian 2: Jejak yang Tertinggal
Adim menggigil meski udara sore Sidoarjo tidak terlalu dingin. Bisikan tadi masih terngiang di telinganya, padahal dia yakin tidak ada siapa pun di sekitar. Dia memeriksa kaca spion, memperhatikan jalanan di belakangnya, tapi yang terlihat hanya beberapa kendaraan yang lewat dan bayangan pepohonan yang mulai memanjang.
“Jangan paranoid, Dim,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan rasa takut yang mulai merayap.
Dia kembali menatap kotak di belakang motor. Kotak itu terlihat biasa saja, kecokelatan dan agak lusuh seperti paket lainnya. Tapi isi di dalamnya—buku tua dengan tulisan merah di halaman pertama—membuatnya gelisah. Adim bukan tipe orang yang percaya hal-hal mistis, tapi ada sesuatu tentang buku itu yang membuatnya ingin menjauh sejauh mungkin.
Namun, pekerjaan adalah pekerjaan. Dia harus menyelesaikan pengantaran hari itu. Dengan enggan, Adim memutuskan untuk menunda memikirkan buku itu dan melanjutkan perjalanan ke rumah Bu Rina.
Ketika tiba di depan rumah Bu Rina, Adim merasakan ada yang berbeda. Rumah bercat hijau muda itu terlihat sunyi, meskipun lampu teras menyala. Biasanya, Bu Rina akan menunggu di depan atau setidaknya menyembulkan kepala dari jendela saat mendengar suara motornya.
Adim mengetuk pintu beberapa kali.
“Bu Rina?” panggilnya.
Tidak ada jawaban.
Dia mencoba lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras. Masih tidak ada reaksi. Rasa khawatir mulai menggelayuti pikirannya. Adim melangkah mundur, menatap ke dalam melalui jendela kaca. Ruang tamu terlihat kosong, hanya ada sofa dan meja kecil yang di atasnya ada cangkir teh yang setengah penuh.
Ketika dia hendak mengetuk lagi, pintu tiba-tiba terbuka sedikit. Adim terkejut dan melangkah mundur.
“Bu Rina?” panggilnya lagi, kali ini suaranya lebih pelan.
Pintu terbuka lebih lebar, memperlihatkan sosok Bu Rina yang berdiri di baliknya. Wajahnya pucat, dan matanya menatap Adim dengan pandangan kosong.
“Masuklah,” katanya singkat, hampir seperti bisikan.
Adim ragu. Ada sesuatu yang tidak beres dengan Bu Rina, tapi dia tidak ingin terlihat tidak sopan. Perlahan, dia melangkah masuk, mengikuti Bu Rina ke ruang tamu.
Bu Rina duduk di sofa tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Adim berdiri canggung, menatapnya.
“Bu, soal paket tadi…” Adim memulai, mencoba mengembalikan fokus pada pekerjaannya.
“Paket itu,” potong Bu Rina tiba-tiba. Suaranya terdengar datar, hampir tidak beremosi. “Bukan milikku. Tapi sudah sampai ke sini.”
Adim mengernyit. “Maksudnya apa, Bu? Bukannya tadi Ibu bilang…”
“Sssst.” Bu Rina mengangkat tangannya, menyuruh Adim diam. Matanya menatap tajam ke arah kotak yang masih dibawa Adim. “Paket itu mencari pemiliknya sendiri.”
Adim merasakan bulu kuduknya berdiri lagi. “Bu, saya nggak ngerti. Maksud Ibu apa?”
Bu Rina berdiri, perlahan mendekati Adim. Wajahnya yang pucat semakin dekat hingga Adim bisa melihat garis-garis halus di sekitar matanya.
“Kamu harus pergi sekarang,” kata Bu Rina tiba-tiba. Suaranya mendadak tegas, berbeda dari sebelumnya.
“Bu?”
“Pergi, Adim!” serunya, hampir berteriak. Tangannya menunjuk ke pintu.
Adim tidak berani membantah. Dia mengambil langkah mundur, membuka pintu, dan keluar dengan tergesa-gesa. Begitu sampai di luar, dia menoleh lagi. Bu Rina masih berdiri di pintu, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Jangan pernah kembali ke sini,” katanya sebelum menutup pintu keras-keras.
Adim menyalakan motornya dengan tangan gemetar. Apa pun yang baru saja terjadi di rumah Bu Rina, dia tahu itu bukan sesuatu yang normal. Dia mengendarai motornya tanpa tujuan, mencoba menjernihkan pikiran. Jalanan mulai gelap, dan lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu.
Ketika dia berhenti di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan untuk menenangkan diri, dia kembali teringat pada kotak di belakang motornya. Dengan ragu, dia membuka kotak itu lagi. Buku tua itu masih ada di sana, tergeletak seperti sebelumnya.
Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di samping buku itu, ada secarik kertas yang tidak dia lihat sebelumnya.
Dengan tangan gemetar, Adim mengambil kertas itu dan membacanya. Tulisan tangan dengan tinta merah mencolok kembali muncul, sama seperti di buku.
"Langkah berikutnya akan membawamu pada kebenaran. Tapi berhati-hatilah, tidak semua kebenaran layak ditemukan."
Adim mengusap wajahnya, mencoba mengatasi ketegangan yang semakin memburuk. Dia tidak tahu siapa yang meletakkan kertas itu atau apa artinya. Satu hal yang pasti, ini bukan pengantaran paket biasa.
Saat dia termenung, seorang lelaki tua dengan wajah penuh kerutan muncul dari dalam warung kopi dan mendekatinya.
“Anak muda, kau membawa sesuatu yang seharusnya tidak kau bawa,” kata lelaki itu dengan suara serak.
Adim menatap lelaki itu dengan bingung. “Apa maksud Bapak?”
“Buku itu,” katanya sambil menunjuk ke arah kotak di motor Adim. “Itu bukan buku biasa. Banyak yang mencarinya, dan banyak yang hilang karenanya.”
Adim merasa darahnya mengalir lebih cepat. “Bapak tahu tentang buku ini?”
Lelaki tua itu mengangguk. “Aku pernah melihatnya dulu, bertahun-tahun yang lalu. Buku itu hanya muncul untuk mereka yang ditakdirkan. Tapi hati-hati, nak. Apa yang dibawa buku itu lebih dari yang bisa kau bayangkan.”
Sebelum Adim sempat bertanya lebih lanjut, lelaki tua itu berjalan kembali ke dalam warung kopi, meninggalkan Adim dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Malam semakin larut, tapi Adim tidak bisa membiarkan rasa penasarannya menghilang begitu saja. Dia memutuskan untuk kembali ke rumah kontrakannya, sebuah kamar kecil di sudut gang sempit yang dia sewa dengan harga murah.
Begitu sampai di kamar, Adim duduk di lantai, menatap buku itu di depannya. Setelah beberapa menit ragu, dia akhirnya membuka buku itu lagi.
Halaman-halaman di dalamnya dipenuhi tulisan tangan yang sulit dibaca, seolah-olah ditulis dalam bahasa kuno. Namun, di salah satu halaman, dia menemukan sesuatu yang mengejutkan—gambar peta kecil dengan lingkaran merah di tengahnya.
Di bawah peta itu, ada satu kata yang tertulis dalam bahasa Indonesia:
"Sidoarjo."
Adim merasakan dadanya berdebar keras. Apa pun ini, buku itu jelas memiliki kaitan dengan kota tempat dia tinggal. Tapi apa sebenarnya yang dicari buku ini?
Saat dia merenung, pintu kamar kontrakannya diketuk keras dari luar.
Tok... tok... tok...
Adim terkejut. Dia tidak sedang menunggu siapa pun. Dengan hati-hati, dia mendekati pintu dan bertanya, “Siapa?”
Tidak ada jawaban.
Dia mengintip melalui celah pintu. Tidak ada siapa-siapa di luar.
Namun, ketika dia membuka pintu sedikit, sebuah suara berbisik pelan tepat di telinganya:
"Waktumu sudah habis, Adim."
Bersambung...
Apa hubungan buku itu dengan Sidoarjo? Dan siapa yang mengetuk pintu kamar Adim? Nantikan kelanjutan ceritanya di Bagian 3!
Komentar
Posting Komentar