Cerita Bersambung: "Langkah Adim"
Bagian 5: Benang Merah yang Terurai
Adim memandangi tulisan di buku kecil itu dengan tangan gemetar. "Selamat datang di awal perjalananmu, Adim. Ini baru permulaan." Siapa yang menulis ini? Bagaimana mereka tahu namanya? Adim merasa seperti ada benang merah yang mulai terurai, namun ujungnya masih kabur.
Dia membalik halaman pertama buku kecil itu. Isinya adalah rangkaian tulisan tangan, rapi tapi penuh dengan bahasa yang terasa kuno. Salah satu paragraf menarik perhatiannya:
"Yang kau pegang bukan hanya kunci untuk membuka pintu, tetapi untuk membuka tabir masa lalu. Langkahmu telah dimulai sejak kau menerima buku pertama, dan langkah-langkah berikutnya akan membawamu ke tempat di mana semuanya bermula."
Adim membaca ulang kalimat itu beberapa kali. "Tempat di mana semuanya bermula"? Apa yang dimaksud?
Dia melanjutkan membaca, tapi sebelum dia bisa memahami lebih banyak, suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
Bayangan di Gudang
Adim langsung berbalik, tubuhnya tegang. Gudang itu sepi sejak dia masuk, tapi kini ada suara lain yang mendekat.
“Siapa di sana?” teriaknya, mencoba menyembunyikan rasa takut.
Tidak ada jawaban, hanya suara langkah yang semakin mendekat. Adim melangkah mundur perlahan, memegang buku kecil itu erat-erat. Dalam pikirannya, dia mempertimbangkan dua pilihan: melawan atau melarikan diri.
Tiba-tiba, dari balik bayangan, muncul sosok wanita berjubah hitam. Dia berdiri di ambang pintu yang tadi Adim buka, wajahnya tidak lagi tertutup kain. Kini Adim bisa melihat jelas luka bakar yang menutupi separuh wajahnya.
“Kau sudah menemukan apa yang kau cari,” katanya, suaranya dingin namun penuh wibawa.
Adim terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Wanita itu melangkah maju, mendekatinya. “Buku kecil itu akan membimbingmu, tapi tidak akan memberimu semua jawaban. Kau harus menemukannya sendiri.”
“Siapa kau?” tanya Adim, suaranya bergetar.
Wanita itu tersenyum tipis, tapi senyumnya membawa kesedihan. “Aku adalah bagian dari rahasia ini, sama seperti dirimu sekarang.”
Adim mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti. Kenapa aku? Kenapa buku ini sampai ke tanganku?”
Wanita itu menatapnya dalam-dalam. “Karena garis hidupmu sudah terikat pada ini sejak lama. Bukan kebetulan kalau buku itu sampai ke tanganmu, Adim. Kau memiliki hubungan dengan semua ini, meskipun kau belum menyadarinya.”
“Hubungan? Maksudmu apa?” Adim mendesak.
Wanita itu menghela napas pelan, seolah-olah menjelaskan hal ini adalah beban yang berat. “Ada nama keluargamu yang terikat dengan rahasia ini. Namamu adalah kunci pertama.”
Adim merasa dadanya berdegup kencang. Nama keluarganya? Apa yang dimaksud wanita ini?
Sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, wanita itu melangkah mundur ke dalam bayangan. “Temukan jawabanmu, Adim. Tapi ingat—kebenaran memiliki harganya sendiri.”
Dalam sekejap, wanita itu menghilang, meninggalkan Adim sendirian di dalam gudang tua.
Kembali ke Pak Rahmat
Dengan kepala penuh pertanyaan, Adim kembali ke rumah Pak Rahmat. Dia menceritakan apa yang terjadi di gudang tua, termasuk kemunculan wanita berjubah hitam dan kata-katanya tentang nama keluarga Adim.
Pak Rahmat mendengarkan dengan serius, lalu menarik sebuah buku besar dari raknya. “Adim, kau pernah mendengar cerita tentang keluarga Suradimaja?”
Adim menggeleng. Nama itu tidak pernah terdengar di telinganya.
Pak Rahmat membuka halaman buku itu dan menunjukkan sebuah catatan tua. “Keluarga Suradimaja adalah salah satu keluarga terpandang di masa kolonial. Mereka dikenal memiliki banyak tanah dan kekayaan, tapi mereka juga menyimpan banyak rahasia. Ada desas-desus bahwa mereka terlibat dalam sesuatu yang besar—sesuatu yang melibatkan buku-buku kuno dan peta-peta yang kau temukan ini.”
Adim merasa napasnya tersendat. “Tapi apa hubungannya dengan saya, Pak?”
Pak Rahmat menatapnya tajam. “Adim, nama panjangmu apa?”
Adim terdiam sesaat. Dia selalu menggunakan nama pendeknya, tapi nama lengkapnya adalah Adimas Suradimaja.
“Suradimaja?” Adim bergumam, merasa tubuhnya lemas. “Jadi... ini ada hubungannya dengan keluarga saya?”
Pak Rahmat mengangguk perlahan. “Mungkin saja. Garis keturunan keluargamu bisa jadi adalah kunci dari semua ini. Buku itu memilihmu bukan karena kebetulan.”
Masa Lalu yang Mulai Terungkap
Pak Rahmat menyarankan Adim untuk mempelajari lebih lanjut tentang keluarganya, terutama sejarah dari pihak kakek atau neneknya. Namun, ada satu masalah: Adim tidak pernah mengenal kakeknya dari pihak ayah. Ayah Adim pernah bercerita singkat bahwa kakeknya menghilang ketika ayahnya masih kecil.
Satu-satunya petunjuk adalah sebuah kotak tua yang pernah ditinggalkan kakeknya. Kotak itu kini berada di rumah ayahnya, di desa yang tidak jauh dari tempat tinggal Adim.
“Kalau kau ingin tahu kebenarannya, mungkin kotak itu bisa membantumu,” saran Pak Rahmat.
Adim mengangguk, merasa ada dorongan kuat untuk melanjutkan perjalanan ini. Dia tahu bahwa ini bukan lagi tentang buku atau kunci, tapi tentang siapa dirinya dan masa lalu keluarganya.
Malam yang Mencekam
Malam itu, Adim kembali ke kontrakannya dengan pikiran yang penuh. Dia mencoba tidur, tapi suara-suara aneh kembali terdengar. Langkah kaki, bisikan halus, bahkan ketukan di jendela.
Dia membuka jendela dengan berani, tapi tidak ada siapa pun di luar. Namun, dia menemukan sebuah kertas kecil tergantung di pegangan jendela.
Di kertas itu tertulis:
"Kunci sudah ada di tanganmu, tapi pintu berikutnya tidak mudah ditemukan. Perjalanan ini akan membawa lebih dari jawaban—akan ada pilihan yang harus kau buat. Hati-hati, Adim. Tidak semua kebenaran membawa kedamaian."
Adim merasakan bulu kuduknya berdiri. Siapa yang meninggalkan pesan ini? Dan apa maksud dari pilihan yang harus dia buat?
Dia tahu bahwa langkah berikutnya adalah menemukan kotak tua milik kakeknya. Namun, ada rasa takut yang terus membayang. Perjalanan ini semakin dalam, dan dia tidak yakin apakah dia siap menghadapi semua yang menunggunya.
Bersambung...
Apa yang akan Adim temukan di kotak tua keluarganya? Dan pilihan apa yang harus dia buat? Nantikan di Bagian 6!
Komentar
Posting Komentar